Menwa ada dan berdiri
karena sejarah dan tuntutan keadaan,
sebagaimana terjadi pada perang kemerdekaan, belajar dan berjuang bagi pemuda kita menjadi ”Way Of Live”. Dimasa pemerintahan orde lama, Bapak Jenderal Besar A.H. Nasution membentuk
Resimen Mahasiswa untuk pertama kalinya. Keberadaan menwa pada masa itu
mengemban visi dan tujuan untuk membendung
penyebaran paham komunisme dalam kampus. Dengan demikian
menwa berhadapan langsung dengan “ancaman nyata”.
Masa Perjuangan
Pergerakan Nasional
Sejarah perjuangan
pergerakan nasional dimulai sebagai babakan baru dengan lahirnya gerakan “BOEDI OETOMO” pada tanggal 20 Mei 1908
oleh para mahasiswa STOVIA Jakarta. BOEDI OETOMO merupakan wadah pergerakan
kebangsaan yang kemudian menentukan perjuangan nasional selanjutnya. Dengan
lahirnya gerakan ini, maka terdapat cara dan kesadaran baru dalam kerangka
perjuangan bangsa menghadapi kolonial Belanda dengan membentuk organisasi
berwawasan nasional. Organisasi ini merupakan salah satu upaya nyata untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dan
selanjutnya terbentuklah berbagai organisasi perjuangan yang lain, seperti
Syarikat Dagang Islam, Indische Partij dan lain sebagainya.
Mahasiswa Indonesia
di negeri Belanda pada tahun 1908 mendirikan Indische Verenigde (VI) yang berubah menjadi Perkoempoelan Indonesia (PI), kemudian pada tahun 1922 berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Sejak itu
hingga tahun 1924 PI tegas menuntut kemerdekaan Indonesia, hingga pada dekade
ini, para pemuda mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri telah membuka
lembaran baru bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia melalui
forum luar negeri.
Perhimpoenan Indonesia (PI-1922), Perhimpoenan
Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI-1926) dan Pemoeda Indonesia (1927) merupakan organisasi pemuda dan mahasiswa yang
memiliki andil besar dalam merintis dan menyelenggarakan Kongres Pemoeda Indonesia tahun 1928, kemudian tercetuslah “Soempah Pemoeda”. Dengan demikian,
semangat persatuan dan kesatuan semakin kuat menjadi tekad bagi setiap pemuda
Indonesia dalam mencapai cita-cita Indonesia merdeka.
SOEMPAH
PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
Masa Pendudukan Jepang
Tekanan pemerintah
Jepang mengakibatkan aktifitas pemuda dan mahasiswa menjadi terbatas, bahkan
menjadikan mereka berjuang di bawah tanah. Sekalipun demikian para pemuda
mahasiswa mampu mengorganisir dirinya dengan mengadakan sidang pertemuan pada tanggal
3 Juni 1945 di Jl. Menteng 31 Jakarta, dengan menghasilkan keputusan bahwa pemuda mahasiswa bertekad dan berkeinginan
kuat untuk merdeka dengan kesanggupan dan kekuatan sendiri. Keputusan
tersebut kemudian dikenal dengan Ikrar
Pemoeda 3 Joeni 1945.
Menjelang Jepang
terpuruk kalah tanpa syarat dalam Perang Dunia II, untuk memperkuat posisinya
di Indonesia, Jepang melatih rakyat dengan latihan kemiliteran. Tidak
ketinggalan pemuda, pelajar dan mahasiswa. Pasukan pelajar dan mahasiswa yang
dibentuk oleh Jepang disebut dengan “GAKUKOTAI”.
Masa Kemerdekaan
Meskipun kemerdekaan
Indonesia telah diproklamirkan, keikutsertaan pemuda dan mahasiswa terus
berlanjut dengan perjalanan sejarah TNI. Tanggal
23 Agustus 1945, PPKI membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat (atau biasa disingkat BKR)
adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan tugas pemeliharaan keamanan
bersama-sama dengan rakyat dan jawatan-jawatan negara). BKR dibentuk oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI dalam sidangnya pada tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. Di lingkungan pemuda dan mahasiswa dibentuk BKR
Pelajar. Anggota BKR saat itu adalah para pemuda Indonesia yang
sebelumnya telah mendapat pendidikan militer sebagai tentara Heiho, Pembela Tanah Air (PETA), KNIL dan lain sebagainya. BKR tingkat pusat yang bermarkas
di Jakarta dipimpin oleh Moefreni Moekmin.[3] Melalui
Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dan setelah
mengalami beberapa kali perubahan nama akhirnya menjadi Tentara
Nasional Indonesia. Setelah mengikuti kebijakan Pemerintah tanggal 5
Oktober 1945, maka diubah menjadi TKR, sedangkan di lingkungan pelajar dan
mahasiswa diubah menjadi TKR Pelajar.
Pada tanggal 24
Januari 1946 TKR diubah lagi menjadi TRI. Untuk mengikuti kebijakan Pemerintah
ini, pada kesekian kalinya, laskar dan barisan pemuda pelajar dan mahasiswa
mengubah namanya. Nama-nama tersebut menjadi bermacam-macam antara lain: TRIP, TP, TGP, MOBPEL dan CM.
Pada tanggal 3 Juni 1946, Presiden RI telah
mengambil keputusan baru untuk mengubah
TRI menjadi TNI. Keputusan ini dimaksudkan agar dalam satu wilayah negara
kesatuan, yaitu tentara nasional hanya mengenal satu komandan. Dengan demikian
maka laskar dan barisan pejuang melebur menjadi satu dalam TNI. Sementara itu
laskar pelajar dan mahasiswa disatukan dalam wadah yang kemudian dikenal
sebagai “Brigade 17/TNI-Tentara Pelajar”. Peleburan badan-badan perjuangan di
kalangan pemuda pelajar dan mahasiswa ini merupakan manifestasi dari semangat
nilai-nilai persatuan dan kesatuan, kemerdekaan serta cinta tanah air, dalam
kadarnya yang lebih tinggi. Semangat
berjuang, berkorban dan militansi untuk mencapai cita-cita luhur dan tinggi,
merupakan motivasi pemuda pelajar dan mahasiswa yang tidak pernah padam hingga
sekarang, yaitu dengan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan nasional.
Masa Penegakan
Kedaulatan Republik Indonesia
Dengan diakuinya kedaulatan Negara Kesatuan RI sebagai
hasil keputusan Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949 di Den Haag, maka
perang kemerdekaan yang telah mengorbankan jiwa raga dan penderitaan rakyat
berakhir sudah. Karenanya
Pemerintah memandang perlu agar para pemuda pelajar dan mahasiswa yang telah
ikut berjuang dalam perang kemerdekaan, dapat menentukan masa depannya, yaitu
perlu diberi kesempatan untuk melanjutkan tugas pokoknya, “BELAJAR”. Sehingga
pada tanggal 31 Januari 1952 Pemerintah melikuidasi dan melakukan demobilisasi
Brigade 17/TNI-Tentara Pelajar. Para
anggotanya diberi dua pilihan, terus mengabdi sebagai prajurit TNI atau
melanjutkan studi.
Kondisi sosial
ekonomi dan politik di dalam negeri sebagai akibat dari pengerahan tenaga
rakyat dalam perang kemerdekaan, dianggap perlu diatur dan ditetapkan dengan
Undang-Undang. Maka dikeluarkanlah UU Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan
Negara. Pada dekade 1950-an, ternyata perjalanan bangsa dan negara ini
mengalami banyak ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Pemberontakan demi
pemberontakan terjadi di tengah-tengah perjuangan untuk membangun dirinya. Pemberontakan itu antara lain DI/TII,
pemberontakan Kartosuwiryo dan sebagainya. Pemberontakan meminta banyak
korban dan penderitaan rakyat banyak. Rakyat tidak bisa hidup dengan tenang,
karena situasi tidak aman dan penuh kecemasan.
Memperhatikan kondisi
semacam itu, satu tradisi lahir kembali. Para
mahasiswa terjun dalam perjuangan bersenjata untuk ikut serta mempertahankan
membela NKRI bersama-sama ABRI. Sebagai realisasi pelaksanaan UU Nomor 29
Tahun 1954, diselenggarkan Wajib Latih
di kalangan mahasiswa dengan pilot proyek di Bandung pada tanggal 13 Juni 1959,
yang kemudian dikenal dengan WALA 59 (Wajib Latih tahun 1959). WALA 59
merupakan batalyon inti mahasiswa yang merupakan cikal bakal Resimen Mahasiswa
sekarang ini. Kemudian disusul Batalyon 17 Mei di Kalimantan Selatan. Bermula
dari itulah, pada masa demokrasi terpimpin dengan politik konfrontasi dalam
hubungan luar negeri, telah menggugah semangat patriotisme dan kebangsaan
mahasiswa untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa sebagai sukarelawan.
Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kemiliteran selanjutnya dilaksanakan
untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai potensi pertahanan dan keamanan negara
melalui RINWA (Resimen Induk Mahasiswa),
yang selanjutnya namanya berubah menjadi MENWA (Resimen Mahasiswa).
Masa Orde Lama
Persiapan perebutan
Irian Barat ditandai dengan upaya-upaya memperkuat kekuatan nasional. Di
lingkungan mahasiswa dikeluarkan
Keputusan Menteri Keamanan Nasional Nomor: MI/B/00307/61 tentang Latihan
Kemiliteran di perguruan tinggi sebagai “Pendahuluan Wajib Latih Mahasiswa”.
Dengan dicanangkannya operasi pembebasan Irian Barat pada tanggal 19 Desember
1962, dikenal dengan TRIKORA, maka
untuk menindaklanjutinya, Menteri PTIP mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun
1962 tentang Pembentukan Korps Sukarelawan di lingkungan Perguruan Tinggi.
Berikutnya, kedua keputusan di atas disusul dengan Keputusan Bersama Wampa Hankam dan Menteri PTIP Nomor: M/A/20/1963
tanggal 24 Januari 1963 tentang Pelaksanaan Wajib Latih dan Pembentukan Resimen
Mahasiswa di lingkungan Perguruan Tinggi. Pengembangannya dilakukan dalam
satuan-satuan Resimen Induk Mahasiswa (RINWA), yang diatur dalam Keputusan
Bersama Wampa Hankam dan Menteri PTIP Nomor: 14A/19-20-21/1963 tentang Resimen
Induk Mahasiswa.
Tahun 1964 melalui Instruksi Menko Hankam/Kasab
Nomor: AB/34046/1964 tanggal 21 April 1964 dilakukan pembentukan Menwa di
tiap-tiap Kodam. Hal ini dipertegas dengan Keputusan Bersama Menko
Hankam/Kasab dan Menteri PTIP Nomor: M/A/165/1965 dan Nomor: 2/PTIP/65 tentang
Organisasi dan Prosedur Resimen Mahasiswa, Menwa ikut serta mendukung operasi
Dwikora (Dwi Komando Rakyat) tanggal 14 Mei 1964. Sebagai bukti keikutsertaan
ini dapat diketahui bahwa hingga tanggal 20 Mei 1971, sebanyak 802 (delapan
ratus dua) orang anggota Menwa memperoleh anugerah “Satya Lencana Penegak” dan
beberapa memperoleh anugerah “Satya Lencana Dwikora”.
Dalam perkembangan
sejarah selanjutnya, di mana Menwa memiliki andil yang besar dalam membantu
menegakkan NKRI, maka PKI (Partai
Komunis Indonesia) merasakan ancaman, sehingga pada tanggal 28 September 1965,
Ketua PKI D.N. Aidit menuntut kepada Presiden Soekarno supaya Resimen Mahasiswa
yang telah dibentuk di seluruh Indonesia dibubarkan. Tetapi hal itu tidak
berhasil.
Masa Orde Baru
Peran Resimen
Mahasiswa terus berlanjut dalam bidang Pertahanan Keamanan Negara, sekalipun
tantangan juga semakin besar. Pada masa awal Orde Baru, keterlibatan Menwa cukup
besar dalam penumpasan sisa-sisa G 30
S/PKI, dilanjutkan dengan menjadi bagian dari Pasukan Kontingen Garuda ke
Timur Tengah, operasi teritorial di Timor Timur dan sebagainya. Penyelenggaraan
pendidikan dan latihan dasar kemiliteran untuk menciptakan kader dan generasi
baru bagi Menwa juga terus dilaksanakan.
Di lain pihak, di
lingkungan Perguruan Tinggi pada tahun
1968 dikeluarkan keputusan untuk wajib latih bagi mahasiswa (WALAWA) dan wajib
militer bagi mahasiswa (WAMIL) berdasarkan Keputusan Menhankam Nomor:
Kep/B/32/1968 tanggal 14 Februari 1968 tentang Pengesahan Naskah Rencana
Realisasi Program Sistem Wajib Latih dan Wajib Militer bagi Mahasiswa.
Dilanjutkan operasionalisasinya dengan Keputusan Bersama Dirjen Dikti dan Kas
Kodik Walawa Nomor 2 Tahun 1968 dan Nomor: Kep/002/SKW-PW/68. Program ini
kemudian diganti dengan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan
(PACAD) pada tahun 1973 (Keputusan Bersama Menhankam/Pangab dan Menteri P &
K Nomor: Kep/B/21/1973 dan Nomor: 0228/U/1973 tanggal 3 Desember 1973 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan di
Perguruan Tinggi/Universitas/Akademi). Program WALAWA ini diikuti oleh seluruh
mahasiswa dan berbeda dengan Menwa keberadaannya.
Pada tahun 1974 Program WALAWA dibubarkan, dan
pada tahun 1975 sejalan dengan perkembangan dan kemajuan penyempurnaan
organisasi Menwa terus diupayakan. Setelah dikeluarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab, Mendikbud dan Mendagri Nomor:
Kep/39/XI/1975, Nomor: 0246 a/U/1975 dan Nomor: 247 Tahun 1975 tanggal 11
November 1975 tentang Pembinaan Organisasi Resimen Mahasiswa Dalam Rangka
Mengikutsertakan Rakyat Dalam Pembelaan Negara, disebutkan bahwa Resimen
Mahasiswa dibentuk menurut pembagian wilayah Propinsi Daerah Tingkat I sehingga
berjumlah 27 Resimen Mahasiswa di Indonesia. Sedangkan keanggotaan Menwa adalah
mahasiswa yang telah lulus pendidikan Menwa (latihan dasar kemiliteran) dan
Alumni Walawa.
Sebagai pelaksanaan
ketentuan tersebut di atas, dikeluarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab,
Mendikbud dan Mendagri Nomor: Kep/02/I/1978, Nomor: 05/a/U/1978 dan Nomor: 17A
Tahun 1978 tanggal 19 Januari 1978 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan
Organisasi Resimen Mahasiswa, hingga kemudian dalam perkembangannya dilakukan
lagi penyempurnaan peraturan pada tahun 1994.
Pada tanggal 28
Desember 1994 Organisasi Menwa mengalami penyempurnaan melalui Keputusan
Bersama Menhankam, Mendikbud dan Mendagri Nomor: Kep/11/XII/1994, Nomor:
0342/U/1994 dan Nomor: 149 Tahun 1994 tanggal 28 Desember 1994 tentang
Pembinaan dan Penggunaan Resimen Mahasiswa Dalam Bela Negara. Sebagai
pelaksanaan ketentuan tersebut dikeluarkan serangkaian keputusan pada Direktur
Jenderal terkait dari ketiga Departemen Pembina, yang terdiri atas Keputusan
Dirjen Persmanvet Dephankam RI Nomor: Kep/03/III/1996 tanggal 14 Maret 1996
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Resimen Mahasiswa, Nomor:
Kep/04/III/1996 tanggal 14 Maret 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pakaian
Seragam, Tunggul dan Dhuaja Menwa dan Pemakaiannya dan Nomor: Kep/05/III/1996
tanggal 14 Maret 1996 tentang Peraturan Disiplin Resimen Mahasiswa. Serta
Keputusan Dirjen Dikti Depdikbud RI Nomor: 522/Dikti/1996 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pembinaan Satuan Resimen Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Masa Reformasi
Pada masa reformasi
yang salah satu agendanya adalah penghapusan
Dwi Fungsi TNI, berimbas pada keberadaan Resimen Mahasiswa Indonesia,
karena Menwa dianggap merupakan perpanjangan tangan TNI di lingkungan perguruan
tinggi. Kemudian muncul tuntutan pembubaran Menwa di berbagai perguruan tinggi
pada awal tahun 2000, namun Menwa tetap eksis hingga sekarang.
Menyikapi tuntutan
tersebut, para Pimpinan Menwa di berbagai daerah baik Komandan Satuan maupun
Kepala Staf Resimen Mahasiswa mengadakan berbagai koordinasi tingkat regional
dan nasional, antara lain dilaksanakan di Bandung, Yogyakarta, Bali dan
Jakarta.
Para Pembantu Rektor
III Bidang Kemahasiswaan yang dikoordinasikan oleh Dirmawa Ditjen Dikti
Depdiknas juga membentuk tim untuk membahas masalah Menwa dan mengadakan
pertemuan di Yogyakarta, Jakarta dan terakhir di Makassar pada awal sampai
pertengahan tahun 2000.
Pada akhir September
2000 diadakan Rapat Koordinasi antara tim PR III Bidang Kemahasiswaan dengan
seluruh Kepala Staf Resimen Mahasiswa se-Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede,
Jakarta Timur yang menghasilkan rancangan Keputusan Bersama 3 Menteri (Menhan,
Mendiknas dan Mendagri) yang baru.
Pada tanggal 11 Oktober 2000 diterbitkan Keputusan
Bersama Menhan, Mendiknas dan Mendagri & OtdaNomor: KB/14/M/X/2000, Nomor:
6/U/KB/2000 dan Nomor: 39 A Tahun 2000 tanggal 11 Oktober 2000 tentang
Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen Mahasiswa. Sebagai penjabaran ketentuan
dari KB 3 Menteri tersebut, dikeluarkan serangkaian surat dari Dirjen terkait dari
3 Departemen Pembina, yakni: Surat Mendagri & Otda RI Nomor: 188.42/2764/SJ
tanggal 23 Nopember 2000 tentang Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Menteri
Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Surat Edaran
Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 212/D/T/2001 tanggal 19 Januari 2001 tentang
Tindakan Keputusan Bersama Tiga Menteri, Surat Telegram Dirjen Sundaman Dephan
RI Nomor: ST/02/I/2001 tanggal 23 Januari 2001 tentang Kedudukan Resimen
Mahasiswa, Surat Telegram Dirjen Sundaman Dephan RI Nomor: ST/03/2001 tanggal 9
Februari 2001, Surat Telegram Dirjen Pothan Dephan RI Nomor: ST/06/2001 tanggal
18 Juli 2001 dan Surat Dirjen Kesbangpol Depdagri RI Nomor: 340/294.D.III
tanggal 28 Januari 2002.
Para Kepala Staf
Resimen Mahasiswa se-Indonesia terus mengadakan berbagai pertemuan yang
akhirnya bersepakat perlu adanya organisasi Menwa di tingkat Nasional sehingga
terbentuk Badan Koordinasi Nasional Corps Resimen Mahasiswa Indonesia (BAKORNAS
CRMI), yang disahkan keberadaannya pada Rapat Komando Nasional yang pada waktu
itu karena ingin menyesuaikan dengan tuntutan reformasi maka diberi nama
menjadi Kongres Resimen Mahasiswa Indonesia tahun 2002 di Medan.
Walaupun arah
pembinaan dan pemberdayaan Menwa menjadi kurang optimal dengan belum terbitnya
Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) dari KB 3 Menteri
tersebut di atas, pengabdian Menwa terus berlanjut. Salah satunya adalah
sebagai pelopor pembentukan posko relawan kemanusiaan yang dikoordinasikan oleh
Dephan RI untuk bencana Tsunami Aceh pada akhir Desember 2004 sampai dengan
pertengahan 2005. Demikian juga ketika terdapat bencana gempa bumi di
Yogyakarta tahun 2006, Menwa dari berbagai daerah juga mengirimkan relawannya.
Dalam perkembangan
terakhir, BAKORNAS CRMI dirasa kurang efektif karena berbagai kendala teknis.
Dan dalam Rakomnas (Rapat Komando Nasional) Resimen Mahasiswa Indonesia di
Jakarta pada tanggal 24-26 Juli 2006 yang dihadiri oleh pimpinan Komando
Resimen Mahasiswa Indonesia tingkat propinsi dan pimpinan Komandan Satuan
Perguruan Tinggi dari seluruh Indonesia, BAKORNAS CRMI di bubarkan dan dibentuk
badan tingkat nasional baru yakni Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia
atau disingkat KONAS MENWA INDONESIA, sebagai lembaga kepemimpinan struktural Menwa
di tingkat nasional. Lembaga baru ini kian eksis hingga saat ini setelah mampu
mendorong kembali pelaksanaan latsarmil, dan pendidikan lanjutan bagi anggota
Menwa, serta menghidupkan kembali satuan-satuan Menwa yang vakum serta
membangun Staf Komando Resimen (SKOMEN) Menwa di provinsi-provinsi baru. KONAS
MENWA INDONESIA juga melakukan terobosan baru dengan menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan tingkat nasional serta memperkuat aspek legalitas
MENWA Indonesia, antara lain dengan mengeluarkan berbagai Petunjuk Pelaksanaan
(Juklak) seperti Juklak pembinaan dan Perberdayaan Resimen Mahasiswa Indonesia,
Juklak Pendidikan dan Latihan Resimen Mahasiswa Indonesia, Juklak
Peraturan Disiplin Resimen Mahasiswa Indonesia, sambil memproses revisi SKB
3 Menteri menjadi SKB 4 Menteri, termasuk melaksanakan berbagai kegiatan
sebagai mana dituangkan dalam buku profil ini. Hingga saat ini KONAS MENWA
INDONESIA merupakan struktur organisasi tertinggi Resimen Mahasiswa
Indonesia dalam hal koordinasi serta komando organisasi Menwa di tingkat
nasional.
sumber: Konas
0 komentar:
Posting Komentar